Antara Drama Korea, Novel Baswedan dan Carut Marutnya Hukum di Indonesia
Tulisan ini ditulis beberapa hari seberes informasi terkait persidangan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Lalu saya mengirimkannya ke penerbit Tribun Timur tetapi tidak lolos. Maka saya memilih mempublikasikannya disini terlebih berkaitan dengan hobi baru saya di tengah pandemi, menonton drama korea tentu saja. Selamat membaca :)
***
Narasi ketidakadilan dan ketimpangan hukum kembali naik ke permukaan. Bukan hal baru betapa carut marutnya hukum yang ada di negara ini. Beberapa bulan lalu akhirnya persidangan untuk kasus penyidik KPK Novel Baswedan terselenggara. Setelah drama panjang 3 tahun pencarian terhadap pelaku penyiraman air keras; mulai dari upaya pengungkapan pelaku, permintaan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), hingga membuka diskursus - diskursus untuk segera menangkap sang pelaku. Seperti yang dilansir oleh Antara, Jaksa Penuntut Agung menuntut kedua pelaku dengan 1 tahun hukuman penjara. Ditilik dari tingkatan level kejahatan, motif kejahatan dan permintaan maaf pelaku kepada keluarga korban cukup menuntut pelaku dengan hukuman yang terbilang mencederai akal pikiran (re: membuat geleng - geleng kepala).
"Dituntut hanya 1 tahun karena pertama, yang bersangkutan mengakui terus terang di dalam persidangan, kedua yang bersangkutan meminta maaf dan menyesali perbuatannya dan secara dipersidangan menyampaikan memohon maaf kepada keluarga Novel Baswedan dan meminta maaf institusi kepolsian, institusi Polri itu tercoreng," kata JPU Ahmad Patoni di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis. (AntaraNews, Kamis 11 Juni 2020). Sehingga tidak salah memang jika sedari awal Novel menilai persidangannya hanya sebatas formalitas dan bahkan hukumnya compang - comping.
Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengaitkan kasus Novel Baswedan dengan hobi baru saya akhir - akhir ini yaitu menonton drama korea. Di masa sekarang ini, drama korea menjadi alternatif lain penghilang kebosanan bagi yang harus tinggal lebih lama di rumah. Ada satu judul drama korea yang cukup menggelitik untuk saya kaitkan dengan kasus Novel Baswedan. Keduanya menyinggung perihal hukum dalam satu garis tema yang sama. Sebut saja, drama korea yang berjudul Tell Me What You Saw yang diproduksi OCN Original terdapat satu kutipan kalimat yang diucapkan Oh Hyun-jae selaku pemeran utama yang berperan sebagai profiler kriminal. "Di dunia ini tidak ada murka Dewa (Tuhan). Hanya ada hukuman dari kita. Kita mengejar penjahat sampai akhir dan menangkap mereka". Mari kita telaah dan resapi perlahan sambil menyeruput secangkir kopi ataupun teh hangat. Kebenarannya adalah jarang sekali setiap pelaku kejahatan akan menerima balasan langsung dari Tuhan di muka bumi ini. Dalam hemat saya, itulah salah satu alasan hukum diciptakan dalam suatu negeri agar setiap tindakan buruk ada aturan maupun regulasi yang sesuai sebagai ganjaran dalam ketidakbaikannya dalam bertindak. Lantas yang jadi pertanyaan, ketika hukum dibuat untuk menghukum pelaku kejahatan benarkah setelahnya akan ada keadilan? Sudah mampukah corak hukum Indonesia mengganjar setiap pelaku kejahatan?
Dalam artikel hukum yang dirilis oleh situs Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Kiranya untuk mengetahui hakikat hukum tidak bisa hanya menerima jawaban dari ilmu hukum tetapi lebih memerlukan jawaban yang berasal dari ranah filsafat hukum.
Hal ini berpijak pada pernyataan Van Apeldoorn bahwa ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. Ia tidak melihat hukum, ia hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, dengan demikian kaidah-kidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangan Ilmu Hukum Norma (kaidah) hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada pada dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Pernyataan tersebut dapat diselaraskan dengan kutipan dalam Tell Me What You Saw bahwa ketika hukum mampu memandang tanpa perbedaan, tidak terintervensi oleh pihak luar dan bersifat independen. Maka 'hanya ada hukuman dari kita' mampu untuk mengambil alih representasi ketidakadaan hukuman dari dewa (Tuhan). Namun, sayangnya teori dan praktik tidak diaplikasikan secara utuh dan menyeluruh dalam negeri ini. Carut marutnya hukum di Indonesia sudah menjadi buah bibir yang lumrah untuk dibicarakan oleh setiap lapisan masyarakat. Tidak pandang bulu, tidak kenal usia. Diskursus - diskursusnya selalu hadir dimana pun dan kapan pun. Di warung pinggir jalan, di cafe kekinian, hingga di kebun desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Oleh karena itu, setiap orang sebenarnya sadar akan hukum sebab seperti halnya pendapat Plato bahwa hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah. Sehingga ketika ada cedera yang timbul dalam proses hukum tidak heran bahwa masyarakat akan mampu mengidentifikasi ketidakberdayaan hukum yang ada di negeri ini.