Minggu, 17 Juli 2022

Pendidikan, Internet dan Transaksi Informasi

 
Sumber: freepik 


Education is the key to unlocking the world, a passport to freedom.
-Oprah Winfrey

Dalam kehidupan yang fana ini, seyogyanya manusia memiliki hakikat untuk merasa 'bebas'. Bebas yang dapat diartikan ke dalam beragam makna. Bebas yang mendatangkan perasaan bahagia dalam menjalani hidup. Terdengar naif memang, tetapi tujuan hidup manusia menginginkan bahagia, bukan? 

Begitu yang pernah kudengar dari Pak Dr. Fahruddin Faiz pada salah satu kesempatan.
 
Definisi dan penilaian manusia terhadap bahagia beragam, banyak bentuk dan banyak makna. Ada yang dengan hal kecil sudah merasa bahagia, ada pula yang merasa bahwa itu terbilang hal yang tidak membahagiakan. 
Namun, 'kebebasan' yang mendatangkan bahagia tentu harus bersumber dari tidak 'merampas' milik orang lain. Kebebasan tersebut harus diperjuangkan sebab kehadirannya bukanlah hadiah yang cuma-cuma—seperti kebebasan bagi Albert Camus dalam bukunya berjudul Krisis Kebenaran. 

Hal ini pun sejalan dengan salah satu potongan ungkapan dari Oprah Winfrey, seorang wanita Latin yang berpengaruh secara sosial dan melihat pendidikan sebagai sesuatu yang sangat penting—dibandingkan apapun. “I value nothing more in the world than education. It is an open door to freedom...," ungkap Winfrey saat membawakan The Oprah Winfrey Show pada tahun 2010 silam1.
 
Kalau ingin menilik lebih dalam bagaimana Winfrey 'bebas' dengan mampu melakukan banyak hal; menjadi pengusaha, menjadi host ternama, penulis, aktivis hingga dapat  menyabet sederet penghargaan tak terlepas dari bagaimana dia mendefenisikan pendidikan selama ini. Berangkat dari keluarga miskin, menjadi inferior, mendapat kekerasan seksual memdorong ia untuk mencari 'jalan keluar' dan 'kebebasan' melalui pendidikan. 

Sungguh betapa krusialnya sebuah pendidikan. Bukan semata menjadi 'pintar' tetapi dengan pendidikan dapat menjadikan manusia menjadi bermartabat baik dalam perkataan pun perbuatan. Ada banyak sekali tokoh-tokoh ternama yang dapat terlepas dari belenggu inferioritas. Tak terkecuali di Indonesia, dari zaman dahulu sampai pada generasi milenial saat ini. 

Pendidikan menjadi hal yang fundamental bagi hidupku dan kuyakini begitu pula untuk orang lain—meskipun dalam beberapa kasus masih banyak dijumpai realitas di lapangan anak-anak yang semestinya berhak mengenyam pendidikan justru tidak dapat merasakannya karena satu dan lain hal. Namun, pendidikan pula yang dapat menjadikan kita sebagai 'orang' dengan menjalani pendidikan secara benar. 

Pendidikan tentu tidak hanya yang terlabeli formal, tidak mendiskreditkan yang informal. Di manapun itu, pendidikan akan selalu menjadi senjata yang ampuh untuk merubah dunia—paling banter diri sendiri. 

Saat ini aku selesai mengenyam pendidikan dari bangku perguruan tinggi. Telah selesai melepas gelar maha. Telah melakukan transisi dari yang idealis menjadi realistis. Aku menikmati waktuku selama mengenyam pendidikan. Berjumpa dan mengenal dengan banyak ilmu baru, perspektif baru, yang justru membuka mata dan kesadaran bahwa dunia ini luas dan ilmu Tuhan yang setitik itu sangat tak berujung dan berkesudahan. 

Menilik kembali ke beberapa waktu ke belakang, saat pandemi benar-benar mengisolasi masyarakat. Pendidikan menjadi aspek yang cukup terdampak akibat pandemi tersebut. Proses belajar mengajar yang kerap dilakukan tatap muka lalu berubah menjadi virtual atau daring yang biasa disebut e-learning. Tentu masih banyak sejumlah pihak yang kesulitan, baik dari segi akses fasilitas teknologi maupun akses internet. 

Namun, dengan adanya wabah tak terduga tersebut. Pelajar Indonesia mulai mengenal dan beradaptasi dengan pembelajaran maupun pertemuan virtual. Tidak hanya itu, orang dewasa pun menggunakan media online dan teknologi untuk menyelesaikan pekerjaan dan kepentingan. Hal ini memicu semakin menjamurnya seminar online atau webinar. 

Dari fenomena tersebut, aku mulai tersadar bahwa teknologi dan akses internet berpengaruh besar dalam transaksi informasi. Tak terkecuali berdampak pada dunia pendidikan. Saat itu, sebagai mahasiswa yang membutuhkan akses buku dan beberapa referensi jurnal maupun skripsi tentu tak dapat mengandalkan perpustakaan kampus yang masih belum menyediakan buku secara online mengharuskan aku untuk berselancar di ruang pencarian berbasis online. Jaringan internet memudahkan itu semua. Bersyukur aku memilki akses itu dan kunilai sebagai salah satu bentuk privilege

Begitu pun kali ini, untuk aku yang seorang fresh graduate dan berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi suatu hari nanti. Aku berkeinginan untuk study abroad dan sedang menyicil persiapannya. 

Dan tentu saja, aku sangat terbantu dengan adanya internet yang memadai selama ini. Dari informasi satu ke informasi lainnya seolah dengan mudah terakses dengan adanya internet. Aku mengandalkan kebermanfaatan internet untuk membantuku untuk melakukan riset, akses web belajar TOEFL dan skill Bahasa Inggris, ikut kelas online, forum diskusi online dan berkenalan dengan orang di luar jangkauanku yang terhalang jarak dan waktu dengan adanya akses internet. 

Manfaat internet sangat beragam tetapi yang sangat penting untukku adalah dalam menunjang keperluanku selama proses mengenyam pendidikan. Bagiku, dengan akses internet yang memadai membuatku sadar bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan cukup terimplementasikan dengan baik. Pemerintah memfasilitasi penunjang pendidikan melalui internetnya Indonesia meskipun masih ada wilayah marjinal yang kesulitan untuk akses tersebut. Selain itu, salah satu bentuk riil dari pelayanan yang dihadirkan oleh pemerintah adalah dengan adanya Telkom Indonesia dengan produk layanan IndiHome yang membantu masyarakat untuk mendapatkan akses internet dengan high speed internet. 

Dengan adanya jaringan internet dan teknologi ini membantu masyarakat untuk mengakses informasi dan melakukan transaksi informasi yang lebih baik. Kemudahan inilah menjadi cikal bakal perkembangan teknologi yang semakin beragam dan mumpuni nantinya. Kuncinya, internet dan teknologi adalah salah satu alat untuk menciptakan 'kebebasan' versi yang kita dambakan untuk melepaskan belenggu inferiority kita elama ini. 

Referensi 
1] https://www.oprah.com/pressroom/oprahs-angel-network-grants-6-million-to-us-charter-schools

Sabtu, 14 Agustus 2021

Surat dari Masa Depan

Hari ini, di dua angka yang sama, aku merasa kembali lahir 

Ke-ada-anku bersamaan dengan ketidakadaanku 

Ini aku, dari masa depan—jikalau pun aku berumur panjang 

Kita akan bertemu, aku dari hari itu dengan aku yang ada di hari ini—di masa depan

Aku yang akan selalu ada, di saat aku yang lain menolak aku 

Mungkin aku akan berucap terima kasih—sudah mau bertahan, sudah mau berusaha 

Aku dari masa depan—aku tidak pernah kecewa pada aku di hari ini pun di hari-hari sebelumnya dan selanjutnya 

Aku adalah aku—tidak akan pernah menjadi aku tanpa aku

Jadi, jangan menyerah—jangan hilang 

Mari menangkan kehidupan ini—untuk aku yang diusahakan aku 

Aku dari masa depan—seberapa aku yang hari itu tidak merasa baik-baik saja—semoga kesempatan hari setelah hari peringatan itu membuat aku sadar untuk membahagiakan aku 

Entah bagaimana—tapi mari bekerja sama untuk bertemu aku di masa depan 

Aku dengan senyum yang terkembang—dengan aku yang sudah berhati lapang 

Semoga Sang Pencipta mengabulkan aku dari masa depan bertemu aku yang akan ke masa depan 

Malam hari di salah satu sudut bumi, 14 Agustus dari masa depan  




Minggu, 30 Agustus 2020

Antara Drama Korea, Novel Baswedan dan Carut Marutnya Hukum di Indonesia

      Tulisan ini ditulis beberapa hari seberes informasi terkait persidangan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Lalu saya mengirimkannya ke penerbit Tribun Timur tetapi tidak lolos. Maka saya memilih mempublikasikannya disini terlebih berkaitan dengan hobi baru saya di tengah pandemi, menonton drama korea tentu saja. Selamat membaca :) 

***


      Narasi ketidakadilan dan ketimpangan hukum kembali naik ke permukaan. Bukan hal baru betapa carut marutnya hukum yang ada di negara ini. Beberapa bulan lalu akhirnya persidangan untuk kasus penyidik KPK Novel Baswedan terselenggara. Setelah drama panjang 3 tahun pencarian terhadap pelaku penyiraman air keras; mulai dari upaya pengungkapan pelaku, permintaan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), hingga membuka diskursus - diskursus untuk segera menangkap sang pelaku. Seperti yang dilansir oleh Antara, Jaksa Penuntut Agung menuntut kedua pelaku dengan 1 tahun hukuman penjara. Ditilik dari tingkatan level kejahatan, motif kejahatan dan permintaan maaf pelaku kepada keluarga korban cukup menuntut pelaku dengan hukuman yang terbilang mencederai akal pikiran (re: membuat geleng - geleng kepala). 

      "Dituntut hanya 1 tahun karena pertama, yang bersangkutan mengakui terus terang di dalam persidangan, kedua yang bersangkutan meminta maaf dan menyesali perbuatannya dan secara dipersidangan menyampaikan memohon maaf kepada keluarga Novel Baswedan dan meminta maaf institusi kepolsian, institusi Polri itu tercoreng," kata JPU Ahmad Patoni di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis. (AntaraNews, Kamis 11 Juni 2020). Sehingga tidak salah memang jika sedari awal Novel menilai persidangannya hanya sebatas formalitas dan bahkan hukumnya compang - comping. 

      Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengaitkan kasus Novel Baswedan dengan hobi baru saya akhir - akhir ini yaitu menonton drama korea. Di masa sekarang ini, drama korea menjadi alternatif lain penghilang kebosanan bagi yang harus tinggal lebih lama di rumah. Ada satu judul drama korea yang cukup menggelitik untuk saya kaitkan dengan kasus Novel Baswedan. Keduanya menyinggung perihal hukum dalam satu garis tema yang sama. Sebut saja, drama korea yang berjudul Tell Me What You Saw yang diproduksi OCN Original terdapat satu kutipan kalimat yang diucapkan Oh Hyun-jae selaku pemeran utama yang berperan sebagai profiler kriminal. "Di dunia ini tidak ada murka Dewa (Tuhan).  Hanya ada hukuman dari kita. Kita mengejar penjahat sampai akhir dan menangkap mereka". Mari kita telaah dan resapi perlahan sambil menyeruput secangkir kopi ataupun teh hangat. Kebenarannya adalah jarang sekali setiap pelaku kejahatan akan menerima balasan langsung dari Tuhan di muka bumi ini. Dalam hemat saya, itulah salah satu alasan hukum diciptakan dalam suatu negeri agar setiap tindakan buruk ada aturan maupun regulasi yang sesuai sebagai ganjaran dalam ketidakbaikannya dalam bertindak. Lantas yang jadi pertanyaan, ketika hukum dibuat untuk menghukum pelaku kejahatan benarkah setelahnya akan ada keadilan? Sudah mampukah corak hukum Indonesia mengganjar setiap pelaku kejahatan? 

      Dalam artikel hukum yang dirilis oleh situs Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Kiranya untuk mengetahui hakikat hukum tidak bisa hanya menerima jawaban dari ilmu hukum tetapi lebih memerlukan jawaban yang berasal dari ranah filsafat hukum. 

      Hal ini berpijak pada pernyataan Van Apeldoorn bahwa ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. Ia tidak melihat hukum, ia hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, dengan demikian kaidah-kidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangan Ilmu Hukum Norma (kaidah) hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada pada dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.

      Pernyataan tersebut dapat diselaraskan dengan kutipan dalam Tell Me What You Saw bahwa ketika hukum mampu memandang tanpa perbedaan, tidak terintervensi oleh pihak luar dan bersifat independen. Maka 'hanya ada hukuman dari kita' mampu untuk mengambil alih representasi ketidakadaan hukuman dari dewa (Tuhan). Namun, sayangnya teori dan praktik tidak diaplikasikan secara utuh dan menyeluruh dalam negeri ini. Carut marutnya hukum di Indonesia sudah menjadi buah bibir yang lumrah untuk dibicarakan oleh setiap lapisan masyarakat. Tidak pandang bulu, tidak kenal usia. Diskursus - diskursusnya selalu hadir dimana pun dan kapan pun. Di warung pinggir jalan, di cafe kekinian,  hingga di kebun desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. 

      Oleh karena itu, setiap orang sebenarnya sadar akan hukum sebab seperti halnya pendapat Plato bahwa hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah. Sehingga ketika ada cedera yang timbul dalam proses hukum tidak heran bahwa masyarakat akan mampu mengidentifikasi ketidakberdayaan hukum yang ada di negeri ini. 

Rabu, 12 Agustus 2020

Mengenal Prinsip Psikologi Adler Untuk Berani Tidak Disukai

Tulisan ini berangkat dari event blog yang diadakan oleh penerbit jariah publishing yang saya temukan di salah satu grup WhatsApp. Menarik, pikir saya sewaktu membaca headline event-nya. Sehingga berakhirlah dengan mengoperasikan kembali blog saya yang sempat mati suri. Seperti yang kita tahu kondisi global beberapa waktu terakhir (sebelum pemerintah melegalkan new normal) mengharuskan saya dan yang lain untuk tetap tinggal di rumah. Berpeluang bosan dan tidak bergairah sudah pasti terjadi terlebih melakukan rutinitas harian yang tak benar-benar berarti. Namun, dari semua hal yang saya lakukan, akhirnya saya mencoba membaca salah satu buku internasional tulisan dua penulis Jepang Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga tentang prinsip psikologi Aldler yang coba dibawa dengan cara sederhana lewat percakapan seorang filsuf dan pemuda. 

Buku tersebut berjudul The Courage to Be Disliked. Ditelisik dari segi judul sudah attractive sekali ya. Keberanian untuk tidak disukai. Wah. Siapa sih di dunia ini yang ingin tidak disukai? 

Berbicara disukai atau tidak disukai maka secara langsung kita menarik orang lain (external things) sebagai penilai untuk diri sendiri. Parameter yang lahir adalah berdasarkan bagaimana orang lain melihat kita. Pada akhirnya tanpa sadar kita mengunci kekuatan kita untuk menjadi sosok yang kita inginkan karena kita biasanya menginginkan external validation untuk mendefinisikan nilai diri kita. Ingat ya, Ini hanya sekadar refleksi bacaan saya yang tentu saja penuh dengan subjektifitas mengenai substansi yang saya peroleh dari buku tersebut. 

Ada beberapa notion yang diusung oleh si Adlerian Psychology ini. Namun, saya hanya akan mengangkat beberapa hal untuk kita bahas bersama-sama.  

Pertama, teleologi yang diangkat oleh psikologi Adler. 

Berbeda dengan etiologinya Freud yang membahas bagaimana peristiwa satu dapat memengaruhi yang lain. Teleologi malah mencoba bagaimana kita mendefenisikan masa lalu kita. 

Sederhananya seperti ini, dengan kata lain sebuah hubungan sebab akibat. Sebut saja, ketika di masa lampau seseorang yang dirundung (sebab) lalu kemudian hari akan merundung pula (menjadi superior dari orang lain) dan menjadi sosok yang kasar (akibat). Contoh lain misalnya film Joker dimana dia adalah sosok orang jahat dari orang baik yang tersakiti. Sedangkan teleologi ialah bagaimana kita mampu mendefenisikan masa lampau sehingga mampu menjadi pribadi yang kita inginkan di masa depan. “People are not driven by past causes but move toward goals that they themselves set”. Sebagai contoh, ketika seseorang dirundung ia bisa memilih untuk mendefenisikan perisitiwa itu yang kemudian dapat berpengaruh ke masa depannya. Jika mendefenisikannya positif berpeluang ia akan menjadi sosok yang jauh lebih baik dalam memperlakukan orang lain atau ikut bersuara membantu orang yang tengah dirundung. Namun jika mendefenisikannya negatif, ia bisa saja melakukan hal seperti yang dilakukan oleh si tokoh Joker dalam film. 

Kedua, pembagian tugas (separation task).

Salah satu penyebab masalah interpersonal bermula dari seseorang yang mengganggu tugas kita dan kita yang mencoba mengganggu tugasnya. Maksudnya seperti apa? 

Begini, perasaan sedih, kecewa, marah dan jejeran perasaan sakit lainnya berasal dari intervensi atau gangguan terhadap tugas orang lain. Misalnya, ketika kita ikut sebuah kompetisi tugas kita hanya ikut peraturan lalu mengirimkan karya kita. Lalu, untuk urusan penilaian itu bukan urusan kita, sebab ada juri yang sudah mengambil alih. Ketika kita mampu memiliki pola seperti itu, besar peluang untuk terhindar dari perasaaan sakit hati dan kecewa. Banyak hal yang membikin diri kita menjadi pusing ketika kita mencoba untuk mengambil tugas orang lain. Padahal ada saja hal-hal yang harus diterima dengan lapang dada dan hati yang penuh agar menjalani hidup terasa lebih ringan dan menyenangkan.  

Terakhir, hidup bukan sebuah kompetisi. 

Sadar atau tidak, kita ingin menjadi lebih baik karena ingin mengungguli orang lain. Kita menjadi lebih produktif karena melihat orang lain produktif. Kita cenderung membuat standar parameter untuk diri sendiri dengan melihat standar orang lain yang secara tidak langsung dibentuk dari pandangan orang lain. Hal ini mungkin tidak salah, sebab manusia itu merdeka. Namun, pola pikir seperti itu akan membuat diri lama kelamaan akan lelah sebab sibuk mengisi hari untuk memuaskan ekspektasi orang lain. Seyogyanya kita merdeka dengan cara bahagia kita sendiri. Maka berhenti melihat hidup sebagai kompetisi. Mari mencoba untuk melihat setiap orang adalah rekan seperjuangan sehingga tidak ada kepentingan atau kepuasan untuk melampaui orang lain. Kapan kita mampu untuk mengontrol pikiran untuk lebih positif. Maka hasilnya ketika melihat kawan sedang bahagia dan sukses, kita secara legowo mampu untuk menikmati kebahagiaan itu pula. Lebih jauh lagi, cara kita memandang manusia lain dapat setara atau horizontal tanpa banyak aspek pra-syaratnya. 

Terlalu banyak hal menarik yang dibahas dalam buku ini, pun banyak pula Interpretasi yang lahir entah akan selaras atau mungkin saling berseberangan. 

Mengapa judul buku ini berani untuk tidak disukai? 

Karena sebagian besar prinsipnya adalah hal-hal yang tidak berterima dalam pandangan sosial. Sebut saja, ketika kamu tidak ingin berbuat baik, ya jangan lakukan dibandingkan kamu baik tetapi mengambil keuntungan dari orang lain. 

Lebih baik terlihat buruk (tidak disukai) dibanding hidup dalam kebohongan untuk dinilai baik oleh orang lain. Tambahan, hiduplah dengan adil dan bebas sebab semesta terlalu luas untuk hanya menjadi cerita kita di dalamnya (self-centred). 


Rabu, 18 September 2019

Rapalan Doa

1) Doa awal kupanjatkan untuk negeriku yang saat ini sedang mengulang sejarah
Kisah penuh nestapa dari bumi sudut negeri tak terjamah
Kehidupan memanusiakan yang kian lama terkikis urat malu perkakas negara
Ah, siapa kami ini?
Berlagak bersih padahal darah juga warna merah
Sedang cemas takut ibu pertiwi marah sebab kami terpecah
Lancang kanan-kiri bukan lagi, lancang lisan ini sudah main
Hati mencelos pergerakan sudah terjadi
Pinta kami (yang kurang sadar) sekali lagi
Moga - moga masih ada terang untuk kami yang bodoh ini

2) Doa setelahnya untuk mereka yang hebat dalam berlaga dalam hidup
Manusia (sebagian) terlalu pongah untuk saling hidup rukun
Selalu saja mau tahu urusan orang
Barangkali sedang ambil paruh waktu jadi jurnalis dadakan
Karena Indonesia kaya diraciklah dengan bumbu rempah - rempah
Sudah macam bangsa Portugis zaman dahulu
Tapi yang ini beda, meski masih pakai rempah - rempah
Mereka menjual hasil kekayaan, yang ini  kebersamaan juga kerukunan
Aduh, siapa lagi yang berkenan?

3) Doa terakhir untuk anak kecil yang manis
Anak hebat kebanggaan semua dimensi
Penerus Pattimura, Imam Bonjol sampai Soeharto apalagi
Pada gelapnya langit dan serakan bintang - bintang
Rapalan doa kali ini dengan haru
Alam selalu meng-aminkan doa - doa baik manusia katanya
Yasudah,
Sekarang sedang berdoa untuk anak - anak yang sedang dirundung gulita
Memberi tahu Pencipta mereka suci dengan terang yang tak henti - henti

4) Akhirnya rapalan doa sedang berkendara
Menuju singgasana sang pemilik semesta
Merayu mesra agar bumi kian bahagia
Manusianya juga hati kecil terdalamnya.

Dekat lampu kuning pijar, 22 Agustus 2019

Kamis, 12 September 2019

Sepenggal Rasa Untuk Eyang Sang Putra Terbaik Bangsa

Selepas maghrib, engkau mengembuskan napas terakhir. Katanya, jantungmu memilih menyerah. Ah, kupikir bukan itu. Ada hal lain yang engkau telah lama nantikan. Hatimu telah melapang untuk bertemu dengan hilang, bertemu pulang jauh keabadian.

Dibalik raut tuamu itu katanya. Engkau memilih menyerah. Padahal dokter telah mengusahakan penuh upaya. Kupikir lagi sepertinya tidak. Engkau bukan memilih menyerah tapi jiwamu sudah siap bertemu kekasih hati yang sejak lama ingin dijumpai. Sang Maha Satu atau Perempuan hebat yang kau ajak saling mengidam - idamkan.

Perihal kematian memang misteri kehidupan. Hanya saja kudengar dari balik layar televisi. Salah seorang sahabatmu menuturkan engkau telah siap dalam beberapa hari terakhir melepas belenggu dunia. Firasatmu terbukti benar. Sang Pemilik Jiwa dan Raga mengutus utusan untukmu.
Bagaimana rasanya sekarang? Sudah terlepaskah himpitan dadamu? Tertunaikah rindumu pada ratu mahligaimu?

Lantas, siapa yang tak mengenal sosokmu? Ibu pertiwi bahkan menyimpan selalu namamu dalam sudut memori ingatannya. Membungkusnya dengan sebaik - baik kenangan. Untuk generasi nanti, katanya. Barangkali ada yang bisa seperti dirimu lebih - lebih melampauimu.

Eyang, umurmu sudah sepuh. Pemikiranmu sudah terlampau banyak. Kata 'Indonesia' sudah tak mampu terhitung kau gaungkan. Cintamu akan negeri ini kau bawa mati sampai saripati.

Dimana lagi kami mendengar gaungan itu? Dimana lagi kami mencari semangat cinta tanah air?

Sudah bukan rahasia lagi. Kami saling mencaci. Saling mengatai. Tidak mengasihani. Saling berprasangka tanpa sadar diri.

Ah, ini bukan urusanmu lagi. Ayo, lekas temui perempuan pemilik separuh jiwamu itu. Tak usah khawatir akan negeri ini. Disini selalu masih ada jiwa - jiwa pemberani dan saling menyayangi.

Tenang saja. Indonesia akan baik - baik saja.

Selamat melepas rindu, Eyang. Terima kasih atas wajah jenakamu itu.

Seberes menonton Mata Najwa, Rabu 11 September 2019.


Kamis, 05 September 2019

Tentang Anak Kecil dan Uang Merahnya

Hari sudah beranjak sore. Anak kecil berbaju biru lusuh dengan celana pendek turun dari angkutan kota dekat terminal. Turunnya sedikit buru - buru lantas memberikan uang kepada supir angkutan umum tersebut. Gelagatnya tak apa, awalnya. Selepas kepergian anak kecil itu, sang supir ngetem sebentar mencari penumpang. Mesin mobilpun dimatikan.

Tak selang berapa lama. Anak itu kembali. Lantas mendongak ke kaca depan sang supir dengan wajah gelisah dan berkata, "Pak, tadi saya kasih uang berapa?" suaranya kecil sekali.

"Lima ribu," seloroh sang supir.

"Tidak saya kasih uang seratus, Pak? Karna ada uang seratus di kantong saya tadi," tanyanya harap - harap cemas.

Sang supir langsung saja menghardik si anak, "Heh, dibilang uangnya lima ribu ya lima ribu. Bisa - bisanya anak kecil kayak kau punya uang seratus."

Si anak berkulit sawo matang itu bergeming barangkali takut sebab sudah dihardik. Terlebih banyak orang lagi, penjual - penjual pinggir jalan matanya sudah memicing. Hal hebat apa yang sedang terjadi?

Diayunkan kakinya mundur lalu menunduk sambil keliling di sekitar angkutan umum tersebut. Wajahnya pias terlihat sekali sedang dirundung takut.

Penumpang hanya diam tentu saja tak tahu sebab-musabab. Sang supir menyalakan mesinnya saat itu lantas tancap gas meninggalkan TKP.

Dari kaca mobil, masih ada beberapa penumpang yang melihat gelagat si anak. Sepertinya sudah putus asa dan beranjak pulang dengan menyebrang jalan.

Situasi sudah kondusif tak ada percapakapan berarti. Entah sedang berpikir, sedang merenung akan nasib si anak tadi.

Setelah sekian lama. Beberapa penumpang turun digantikan penumpang baru. Sang supir membelokkan mobilnya ke pengisian bahan bakar minyak. Membuka pintu mobil lantas berkata, "Seratus ribu."

Selepas pengisian bahan bakar selesai. Supir itu mengeluarkan uang dari saku celana sebelah kanannya. Pas. Seratus ribu rupiah. Uangnya kusut barangkali akibat digenggam terlalu lama atau bisa jadi saat dimasukkan ke kantong di selipkan saja.

Tak ada yang sadar. Mungkin ada tapi memilih diam. Ah, betapa menyedihkannya nasib si anak. Hatinya gusar barangkali sang ibu sedang menunggu di rumah. Senyum sudah terkembang di wajah indahnya. Ah, membayangkannya saja sudah sakit.

Kisah sore itu ditutup dengan keterdiaman. Ada yang sedang miris. Ada yang berprasangka buruk. Ada pula yang sedang merekah sebab dapat 'rezeki'. Siapa yang sebenarnya tahu?


Di bawah pekat langit malam, 6 September 2019