Mengenal Prinsip Psikologi Adler Untuk Berani Tidak Disukai
Tulisan ini berangkat dari event blog yang diadakan oleh penerbit jariah publishing yang saya temukan di salah satu grup WhatsApp. Menarik, pikir saya sewaktu membaca headline event-nya. Sehingga berakhirlah dengan mengoperasikan kembali blog saya yang sempat mati suri. Seperti yang kita tahu kondisi global beberapa waktu terakhir (sebelum pemerintah melegalkan new normal) mengharuskan saya dan yang lain untuk tetap tinggal di rumah. Berpeluang bosan dan tidak bergairah sudah pasti terjadi terlebih melakukan rutinitas harian yang tak benar-benar berarti. Namun, dari semua hal yang saya lakukan, akhirnya saya mencoba membaca salah satu buku internasional tulisan dua penulis Jepang Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga tentang prinsip psikologi Aldler yang coba dibawa dengan cara sederhana lewat percakapan seorang filsuf dan pemuda.
Buku tersebut berjudul The Courage to Be Disliked. Ditelisik dari segi judul sudah attractive sekali ya. Keberanian untuk tidak disukai. Wah. Siapa sih di dunia ini yang ingin tidak disukai?
Berbicara disukai atau tidak disukai maka secara langsung kita menarik orang lain (external things) sebagai penilai untuk diri sendiri. Parameter yang lahir adalah berdasarkan bagaimana orang lain melihat kita. Pada akhirnya tanpa sadar kita mengunci kekuatan kita untuk menjadi sosok yang kita inginkan karena kita biasanya menginginkan external validation untuk mendefinisikan nilai diri kita. Ingat ya, Ini hanya sekadar refleksi bacaan saya yang tentu saja penuh dengan subjektifitas mengenai substansi yang saya peroleh dari buku tersebut.
Ada beberapa notion yang diusung oleh si Adlerian Psychology ini. Namun, saya hanya akan mengangkat beberapa hal untuk kita bahas bersama-sama.
Pertama, teleologi yang diangkat oleh psikologi Adler.
Berbeda dengan etiologinya Freud yang membahas bagaimana peristiwa satu dapat memengaruhi yang lain. Teleologi malah mencoba bagaimana kita mendefenisikan masa lalu kita.
Sederhananya seperti ini, dengan kata lain sebuah hubungan sebab akibat. Sebut saja, ketika di masa lampau seseorang yang dirundung (sebab) lalu kemudian hari akan merundung pula (menjadi superior dari orang lain) dan menjadi sosok yang kasar (akibat). Contoh lain misalnya film Joker dimana dia adalah sosok orang jahat dari orang baik yang tersakiti. Sedangkan teleologi ialah bagaimana kita mampu mendefenisikan masa lampau sehingga mampu menjadi pribadi yang kita inginkan di masa depan. “People are not driven by past causes but move toward goals that they themselves set”. Sebagai contoh, ketika seseorang dirundung ia bisa memilih untuk mendefenisikan perisitiwa itu yang kemudian dapat berpengaruh ke masa depannya. Jika mendefenisikannya positif berpeluang ia akan menjadi sosok yang jauh lebih baik dalam memperlakukan orang lain atau ikut bersuara membantu orang yang tengah dirundung. Namun jika mendefenisikannya negatif, ia bisa saja melakukan hal seperti yang dilakukan oleh si tokoh Joker dalam film.
Kedua, pembagian tugas (separation task).
Salah satu penyebab masalah interpersonal bermula dari seseorang yang mengganggu tugas kita dan kita yang mencoba mengganggu tugasnya. Maksudnya seperti apa?
Begini, perasaan sedih, kecewa, marah dan jejeran perasaan sakit lainnya berasal dari intervensi atau gangguan terhadap tugas orang lain. Misalnya, ketika kita ikut sebuah kompetisi tugas kita hanya ikut peraturan lalu mengirimkan karya kita. Lalu, untuk urusan penilaian itu bukan urusan kita, sebab ada juri yang sudah mengambil alih. Ketika kita mampu memiliki pola seperti itu, besar peluang untuk terhindar dari perasaaan sakit hati dan kecewa. Banyak hal yang membikin diri kita menjadi pusing ketika kita mencoba untuk mengambil tugas orang lain. Padahal ada saja hal-hal yang harus diterima dengan lapang dada dan hati yang penuh agar menjalani hidup terasa lebih ringan dan menyenangkan.
Terakhir, hidup bukan sebuah kompetisi.
Sadar atau tidak, kita ingin menjadi lebih baik karena ingin mengungguli orang lain. Kita menjadi lebih produktif karena melihat orang lain produktif. Kita cenderung membuat standar parameter untuk diri sendiri dengan melihat standar orang lain yang secara tidak langsung dibentuk dari pandangan orang lain. Hal ini mungkin tidak salah, sebab manusia itu merdeka. Namun, pola pikir seperti itu akan membuat diri lama kelamaan akan lelah sebab sibuk mengisi hari untuk memuaskan ekspektasi orang lain. Seyogyanya kita merdeka dengan cara bahagia kita sendiri. Maka berhenti melihat hidup sebagai kompetisi. Mari mencoba untuk melihat setiap orang adalah rekan seperjuangan sehingga tidak ada kepentingan atau kepuasan untuk melampaui orang lain. Kapan kita mampu untuk mengontrol pikiran untuk lebih positif. Maka hasilnya ketika melihat kawan sedang bahagia dan sukses, kita secara legowo mampu untuk menikmati kebahagiaan itu pula. Lebih jauh lagi, cara kita memandang manusia lain dapat setara atau horizontal tanpa banyak aspek pra-syaratnya.
Terlalu banyak hal menarik yang dibahas dalam buku ini, pun banyak pula Interpretasi yang lahir entah akan selaras atau mungkin saling berseberangan.
Mengapa judul buku ini berani untuk tidak disukai?
Karena sebagian besar prinsipnya adalah hal-hal yang tidak berterima dalam pandangan sosial. Sebut saja, ketika kamu tidak ingin berbuat baik, ya jangan lakukan dibandingkan kamu baik tetapi mengambil keuntungan dari orang lain.
Lebih baik terlihat buruk (tidak disukai) dibanding hidup dalam kebohongan untuk dinilai baik oleh orang lain. Tambahan, hiduplah dengan adil dan bebas sebab semesta terlalu luas untuk hanya menjadi cerita kita di dalamnya (self-centred).
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda