Pendidikan, Internet dan Transaksi Informasi
An ordinary girl with her word-world.
Hari ini, di dua angka yang sama, aku merasa kembali lahir
Ke-ada-anku bersamaan dengan ketidakadaanku
Ini aku, dari masa depan—jikalau pun aku berumur panjang
Kita akan bertemu, aku dari hari itu dengan aku yang ada di hari ini—di masa depan
Aku yang akan selalu ada, di saat aku yang lain menolak aku
Mungkin aku akan berucap terima kasih—sudah mau bertahan, sudah mau berusaha
Aku dari masa depan—aku tidak pernah kecewa pada aku di hari ini pun di hari-hari sebelumnya dan selanjutnya
Aku adalah aku—tidak akan pernah menjadi aku tanpa aku
Jadi, jangan menyerah—jangan hilang
Mari menangkan kehidupan ini—untuk aku yang diusahakan aku
Aku dari masa depan—seberapa aku yang hari itu tidak merasa baik-baik saja—semoga kesempatan hari setelah hari peringatan itu membuat aku sadar untuk membahagiakan aku
Entah bagaimana—tapi mari bekerja sama untuk bertemu aku di masa depan
Aku dengan senyum yang terkembang—dengan aku yang sudah berhati lapang
Semoga Sang Pencipta mengabulkan aku dari masa depan bertemu aku yang akan ke masa depan
Malam hari di salah satu sudut bumi, 14 Agustus dari masa depan
Tulisan ini ditulis beberapa hari seberes informasi terkait persidangan penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Lalu saya mengirimkannya ke penerbit Tribun Timur tetapi tidak lolos. Maka saya memilih mempublikasikannya disini terlebih berkaitan dengan hobi baru saya di tengah pandemi, menonton drama korea tentu saja. Selamat membaca :)
***
Narasi ketidakadilan dan ketimpangan hukum kembali naik ke permukaan. Bukan hal baru betapa carut marutnya hukum yang ada di negara ini. Beberapa bulan lalu akhirnya persidangan untuk kasus penyidik KPK Novel Baswedan terselenggara. Setelah drama panjang 3 tahun pencarian terhadap pelaku penyiraman air keras; mulai dari upaya pengungkapan pelaku, permintaan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF), hingga membuka diskursus - diskursus untuk segera menangkap sang pelaku. Seperti yang dilansir oleh Antara, Jaksa Penuntut Agung menuntut kedua pelaku dengan 1 tahun hukuman penjara. Ditilik dari tingkatan level kejahatan, motif kejahatan dan permintaan maaf pelaku kepada keluarga korban cukup menuntut pelaku dengan hukuman yang terbilang mencederai akal pikiran (re: membuat geleng - geleng kepala).
"Dituntut hanya 1 tahun karena pertama, yang bersangkutan mengakui terus terang di dalam persidangan, kedua yang bersangkutan meminta maaf dan menyesali perbuatannya dan secara dipersidangan menyampaikan memohon maaf kepada keluarga Novel Baswedan dan meminta maaf institusi kepolsian, institusi Polri itu tercoreng," kata JPU Ahmad Patoni di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis. (AntaraNews, Kamis 11 Juni 2020). Sehingga tidak salah memang jika sedari awal Novel menilai persidangannya hanya sebatas formalitas dan bahkan hukumnya compang - comping.
Dalam tulisan ini, saya akan mencoba mengaitkan kasus Novel Baswedan dengan hobi baru saya akhir - akhir ini yaitu menonton drama korea. Di masa sekarang ini, drama korea menjadi alternatif lain penghilang kebosanan bagi yang harus tinggal lebih lama di rumah. Ada satu judul drama korea yang cukup menggelitik untuk saya kaitkan dengan kasus Novel Baswedan. Keduanya menyinggung perihal hukum dalam satu garis tema yang sama. Sebut saja, drama korea yang berjudul Tell Me What You Saw yang diproduksi OCN Original terdapat satu kutipan kalimat yang diucapkan Oh Hyun-jae selaku pemeran utama yang berperan sebagai profiler kriminal. "Di dunia ini tidak ada murka Dewa (Tuhan). Hanya ada hukuman dari kita. Kita mengejar penjahat sampai akhir dan menangkap mereka". Mari kita telaah dan resapi perlahan sambil menyeruput secangkir kopi ataupun teh hangat. Kebenarannya adalah jarang sekali setiap pelaku kejahatan akan menerima balasan langsung dari Tuhan di muka bumi ini. Dalam hemat saya, itulah salah satu alasan hukum diciptakan dalam suatu negeri agar setiap tindakan buruk ada aturan maupun regulasi yang sesuai sebagai ganjaran dalam ketidakbaikannya dalam bertindak. Lantas yang jadi pertanyaan, ketika hukum dibuat untuk menghukum pelaku kejahatan benarkah setelahnya akan ada keadilan? Sudah mampukah corak hukum Indonesia mengganjar setiap pelaku kejahatan?
Dalam artikel hukum yang dirilis oleh situs Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Kiranya untuk mengetahui hakikat hukum tidak bisa hanya menerima jawaban dari ilmu hukum tetapi lebih memerlukan jawaban yang berasal dari ranah filsafat hukum.
Hal ini berpijak pada pernyataan Van Apeldoorn bahwa ilmu hukum hanya memberikan jawaban yang sepihak, karena ilmu hukum hanya melihat gejala-gejala hukum belaka. Ia tidak melihat hukum, ia hanya melihat apa yang dapat dilihat dengan panca indera, bukan melihat dunia hukum yang tidak dapat dilihat, yang tersembunyi di dalamnya, dengan demikian kaidah-kidah hukum sebagai pertimbangan nilai terletak di luar pandangan Ilmu Hukum Norma (kaidah) hukum tidak termasuk pada ranah kenyataan (Sein), tetapi berada pada dunia nilai (Sollen dan mogen), sehingga norma hukum bukan dunia penyelidikan ilmu hukum.
Pernyataan tersebut dapat diselaraskan dengan kutipan dalam Tell Me What You Saw bahwa ketika hukum mampu memandang tanpa perbedaan, tidak terintervensi oleh pihak luar dan bersifat independen. Maka 'hanya ada hukuman dari kita' mampu untuk mengambil alih representasi ketidakadaan hukuman dari dewa (Tuhan). Namun, sayangnya teori dan praktik tidak diaplikasikan secara utuh dan menyeluruh dalam negeri ini. Carut marutnya hukum di Indonesia sudah menjadi buah bibir yang lumrah untuk dibicarakan oleh setiap lapisan masyarakat. Tidak pandang bulu, tidak kenal usia. Diskursus - diskursusnya selalu hadir dimana pun dan kapan pun. Di warung pinggir jalan, di cafe kekinian, hingga di kebun desa yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan.
Oleh karena itu, setiap orang sebenarnya sadar akan hukum sebab seperti halnya pendapat Plato bahwa hukum adalah pikiran yang masuk akal (reason thought, logismos) yang dirumuskan dalam keputusan negara. Ia menolak anggapan bahwa otoritas dari hukum semata-mata bertumpu pada kemauan dari kekuatan yang memerintah. Sehingga ketika ada cedera yang timbul dalam proses hukum tidak heran bahwa masyarakat akan mampu mengidentifikasi ketidakberdayaan hukum yang ada di negeri ini.
Tulisan ini berangkat dari event blog yang diadakan oleh penerbit jariah publishing yang saya temukan di salah satu grup WhatsApp. Menarik, pikir saya sewaktu membaca headline event-nya. Sehingga berakhirlah dengan mengoperasikan kembali blog saya yang sempat mati suri. Seperti yang kita tahu kondisi global beberapa waktu terakhir (sebelum pemerintah melegalkan new normal) mengharuskan saya dan yang lain untuk tetap tinggal di rumah. Berpeluang bosan dan tidak bergairah sudah pasti terjadi terlebih melakukan rutinitas harian yang tak benar-benar berarti. Namun, dari semua hal yang saya lakukan, akhirnya saya mencoba membaca salah satu buku internasional tulisan dua penulis Jepang Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga tentang prinsip psikologi Aldler yang coba dibawa dengan cara sederhana lewat percakapan seorang filsuf dan pemuda.
Buku tersebut berjudul The Courage to Be Disliked. Ditelisik dari segi judul sudah attractive sekali ya. Keberanian untuk tidak disukai. Wah. Siapa sih di dunia ini yang ingin tidak disukai?
Berbicara disukai atau tidak disukai maka secara langsung kita menarik orang lain (external things) sebagai penilai untuk diri sendiri. Parameter yang lahir adalah berdasarkan bagaimana orang lain melihat kita. Pada akhirnya tanpa sadar kita mengunci kekuatan kita untuk menjadi sosok yang kita inginkan karena kita biasanya menginginkan external validation untuk mendefinisikan nilai diri kita. Ingat ya, Ini hanya sekadar refleksi bacaan saya yang tentu saja penuh dengan subjektifitas mengenai substansi yang saya peroleh dari buku tersebut.
Ada beberapa notion yang diusung oleh si Adlerian Psychology ini. Namun, saya hanya akan mengangkat beberapa hal untuk kita bahas bersama-sama.
Pertama, teleologi yang diangkat oleh psikologi Adler.
Berbeda dengan etiologinya Freud yang membahas bagaimana peristiwa satu dapat memengaruhi yang lain. Teleologi malah mencoba bagaimana kita mendefenisikan masa lalu kita.
Sederhananya seperti ini, dengan kata lain sebuah hubungan sebab akibat. Sebut saja, ketika di masa lampau seseorang yang dirundung (sebab) lalu kemudian hari akan merundung pula (menjadi superior dari orang lain) dan menjadi sosok yang kasar (akibat). Contoh lain misalnya film Joker dimana dia adalah sosok orang jahat dari orang baik yang tersakiti. Sedangkan teleologi ialah bagaimana kita mampu mendefenisikan masa lampau sehingga mampu menjadi pribadi yang kita inginkan di masa depan. “People are not driven by past causes but move toward goals that they themselves set”. Sebagai contoh, ketika seseorang dirundung ia bisa memilih untuk mendefenisikan perisitiwa itu yang kemudian dapat berpengaruh ke masa depannya. Jika mendefenisikannya positif berpeluang ia akan menjadi sosok yang jauh lebih baik dalam memperlakukan orang lain atau ikut bersuara membantu orang yang tengah dirundung. Namun jika mendefenisikannya negatif, ia bisa saja melakukan hal seperti yang dilakukan oleh si tokoh Joker dalam film.
Kedua, pembagian tugas (separation task).
Salah satu penyebab masalah interpersonal bermula dari seseorang yang mengganggu tugas kita dan kita yang mencoba mengganggu tugasnya. Maksudnya seperti apa?
Begini, perasaan sedih, kecewa, marah dan jejeran perasaan sakit lainnya berasal dari intervensi atau gangguan terhadap tugas orang lain. Misalnya, ketika kita ikut sebuah kompetisi tugas kita hanya ikut peraturan lalu mengirimkan karya kita. Lalu, untuk urusan penilaian itu bukan urusan kita, sebab ada juri yang sudah mengambil alih. Ketika kita mampu memiliki pola seperti itu, besar peluang untuk terhindar dari perasaaan sakit hati dan kecewa. Banyak hal yang membikin diri kita menjadi pusing ketika kita mencoba untuk mengambil tugas orang lain. Padahal ada saja hal-hal yang harus diterima dengan lapang dada dan hati yang penuh agar menjalani hidup terasa lebih ringan dan menyenangkan.
Terakhir, hidup bukan sebuah kompetisi.
Sadar atau tidak, kita ingin menjadi lebih baik karena ingin mengungguli orang lain. Kita menjadi lebih produktif karena melihat orang lain produktif. Kita cenderung membuat standar parameter untuk diri sendiri dengan melihat standar orang lain yang secara tidak langsung dibentuk dari pandangan orang lain. Hal ini mungkin tidak salah, sebab manusia itu merdeka. Namun, pola pikir seperti itu akan membuat diri lama kelamaan akan lelah sebab sibuk mengisi hari untuk memuaskan ekspektasi orang lain. Seyogyanya kita merdeka dengan cara bahagia kita sendiri. Maka berhenti melihat hidup sebagai kompetisi. Mari mencoba untuk melihat setiap orang adalah rekan seperjuangan sehingga tidak ada kepentingan atau kepuasan untuk melampaui orang lain. Kapan kita mampu untuk mengontrol pikiran untuk lebih positif. Maka hasilnya ketika melihat kawan sedang bahagia dan sukses, kita secara legowo mampu untuk menikmati kebahagiaan itu pula. Lebih jauh lagi, cara kita memandang manusia lain dapat setara atau horizontal tanpa banyak aspek pra-syaratnya.
Terlalu banyak hal menarik yang dibahas dalam buku ini, pun banyak pula Interpretasi yang lahir entah akan selaras atau mungkin saling berseberangan.
Mengapa judul buku ini berani untuk tidak disukai?
Karena sebagian besar prinsipnya adalah hal-hal yang tidak berterima dalam pandangan sosial. Sebut saja, ketika kamu tidak ingin berbuat baik, ya jangan lakukan dibandingkan kamu baik tetapi mengambil keuntungan dari orang lain.
Lebih baik terlihat buruk (tidak disukai) dibanding hidup dalam kebohongan untuk dinilai baik oleh orang lain. Tambahan, hiduplah dengan adil dan bebas sebab semesta terlalu luas untuk hanya menjadi cerita kita di dalamnya (self-centred).
1) Doa awal kupanjatkan untuk negeriku yang saat ini sedang mengulang sejarah
Selepas maghrib, engkau mengembuskan napas terakhir. Katanya, jantungmu memilih menyerah. Ah, kupikir bukan itu. Ada hal lain yang engkau telah lama nantikan. Hatimu telah melapang untuk bertemu dengan hilang, bertemu pulang jauh keabadian.
Hari sudah beranjak sore. Anak kecil berbaju biru lusuh dengan celana pendek turun dari angkutan kota dekat terminal. Turunnya sedikit buru - buru lantas memberikan uang kepada supir angkutan umum tersebut. Gelagatnya tak apa, awalnya. Selepas kepergian anak kecil itu, sang supir ngetem sebentar mencari penumpang. Mesin mobilpun dimatikan.